-NOTHING BETTER [2]-

Posted on Updated on

Hyung aku merindukannya!”

“Apa aku saja tidak cukup, Hae? Aku saudara kandungmu..”

Title: “보고싶어 Hyungie”

Cast:

Donghae – Heechul – Leeteuk – Kibum – Kyuhyun

Genre:

Brothership – Family – Friendship

[CHAPTER 2] 

Hari berganti terlalu cepat. Meski tidak bagi Donghae, bocah yang menghabiskan 24 jam waktunya tersebut dengan menangis sepanjang hari. Tak pernah ia bermimpi, ataupun membayangkan sedikitpun, bahwa ia akan ditemani oleh sakit gigi di hari ulang tahunnya sendiri.

“Karena ulahmu sendiri, kan?! Sekarang kau sakit gigi! Itu karena kau tidak mendengarkan apa kata hyung,” omel Heechul. Ia sendiri tak fokus dan tak mengomel keras. Ia tak sekejam itu mengingat Donghae, dongsaengnya itu tengah benar-benar kesakitan dan berbaring di atas sofa dengan lemas karena tangisnya yang tiada henti.

Sesungguhnya ia terlihat sedikit cemas. Melihat Donghae kelelahan karena tangisnya sendiri, ia menjadi tak tahan. Namun ada hal lain yang membuatnya belum menggapai dan menenangkan Donghae. Ia sedang sibuk dengan ponselnya sendiri dan merutuk sebal. “Sebenarnya Leeteuk hyung kemana! Ia sulit dihubungi, padahal hanya dia yang tahu dimana letak obat-obatan di rumah ini, dan berhenti menangis, Hae!” kesal Heechul, karena Donghae tak berhenti menangis.

“Sa, kit! Auh!” isak Donghae. Ia mengaduh dan mengadu pada sang hyung, terlihat meratap. Tubuhnya memutar agar terbaring telungkup, sehingga dapat ia tekan pipi kirinya di atas permukaan sofa.

“Tsk!” Heechul berdecak. Bukan karena ia jahat, namun ia begitu kalut. Sedang Donghae hanya menangis dan menolak untuk dibawa ke dokter gigi karena alasan takut. Beberapa menit Heechul menyerah dan meletakan ponselnya di atas meja. Ia hampiri Donghae. Ia pangku Donghae dan lalu mengusap-usap punggung Donghae. “Sebelah mana yang sakit? Biar hyung lihat..”

Donghae menggeleng dan menekan pipi kirinya keras-keras. Lakuan itu membuat Heechul tahu, sumber sakit Donghae berada disana. Maka ia segera memijit-mijit pelan pipi Donghae. “Disini?” tanyanya.

Benar saja. Donghae meredam tangisnya seketika, merasa jemari Heechul menekan sakitnya seketika meski sakit itu masih ada. Ia segera menidurkan kepalanya di bahu Heechul ditemani sisa isakannya. Matanya membengkak sudah. Sejenak Heechul menghentikan pijatannya di pipi Donghae hanya untuk mengusap wajah Donghae yang basah. Namun, Donghae mengerang kala itu. “Lagi, hyung!” desaknya untuk meminta Heechul agar memijit pipinya.

Heechul mendesah sedikit lega. Ia dapat mengendalikan tangis Donghae pada akhirnya, dan menggantinya dengan isakan-isakan kecil saja. “Apa begitu sakit? Seberapa banyak kau makan coklat, huh? Leeteuk hyung memberimu coklat yang banyak, kan?!”

Donghae menggeleng keras, ketakutan akan pertanyaan sang hyung yang begitu menekan dirinya.

“Bukan Leeteuk hyung? Jadi kau beli sendiri? Apa perlu hyung potong uang jajanmu agar kau tak bisa lagi membeli coklat sebanyak yang kau mau?”

Donghae yang hampir menutup matanya karena lelah itu menjadi mengerang dan menggeram. Tentu ia tak ingin uang jajannya berkurang. Oh! Itu akan sangat menyedihkan baginya..

“Lalu apa yang harus kau lakukan sekarang setelah ini? Atau akan kupaksa kau untuk menemui dokter gigi esok hari!”

Donghae tak fokus. Namun sempat ia katakan, “aku tak akan makan coklat lagi, hyung. Janji!sebelum matanya terlelap dan akhirnya terkulai untuk tidur di bahu Heechul. Membuat Heechul tersenyum pada akhirnya dan lalu mengusap setiap basah di tubuh Donghae. Air mata di wajahnya, dan juga setiap tetesan keringat di rambut Donghae.

“Aigoo! Kau nakal sepertiku ternyata..” gumam Heechul sambil terkekeh pelan. Ia tengah mentertawakan dirinya sendiri.

Di tempat lain, Leeteuk tengah melamun di antara sebuah kursi panjang yang tengah di dudukinya. Ada banyak orang berlalu lalang tepat di hadapannya. Juga tak sedikit ranjang dorong dengan tubuh-tubuh sakit di atasnya, sempat hadir di hadapan Leeteuk. Bau obat-obatanpun begitu menyengat terasa.

Tak perlu lagi di tebak ia berada dimana sekarang. Ya. Rumah sakit adalah tempatnya beristirahat setelah kedatangannya dari Seoul. Tempat pertama yang ia sambangi di kota kelahirannya. Sayang sekali..

“Ayah dan ibumu kecelakaan cukup parah. Kau bisa pulang?”

Leeteuk mendesah lelah dan lalu mengusap wajahnya. Wajah yang begitu kental akan sebuah penat dan lelah yang luar biasa. Terlalu sulit kejadian yang menimpa kedua orang tuanya kini yang entah seperti apa nasib mereka.

Tap. Tap.

Leeteuk mendengar derap langkah kecil yang lalu ia hafal dengan mudah. Mungkin nalurinya yang mengatakan dan membuatnya hafal derap langkah siapa itu. Maka setelah menoleh pada sisi kanannya, ia segera tersenyum dan lalu menghampiri dua bocah kecil yang berjalan ke arahnya.

Kedua lutut Leeteuk tekuk di atas lantai hanya untuk menyamakan tingginya dengan dua bocah tersebut. Segera ia peluk keduanya. “Kibumie, Kyuhyunie!” serunya dalam dekapan hangat tersebut. “Hyung begitu merindukan kalian,” ungkapnya.

Satu bocah di antaranya, langsung saja membalas dekapan tersebut. Ia lingkarkan lengannya di leher Leeteuk begitu erat. Bahkan helaian rambut ikalnya menggelitik leher Leeteuk meski tak sampai membuat Leeteuk tertawa geli karenanya. “Hyungie.. aku merindukanmu, sangat!”

Leeteuk tersenyum. “Benarkah kau begitu merindukan hyung, Kyuhyunie?” ucapnya saat ia menarik dirinya dari dekapan hangat tersebut. Leeteuk bertanya pada dia, Kyuhyun, sang bocah berambut ikal yang berada di sisi kirinya. Setelah puas menatap Kyuhyun yang lalu mengangguk ke arahnya, Leeteuk beralih menatap hangat pada satu bocah lain di samping kanannya. “Apa kau juga merindukan hyung, Kibumie?”

Bocah bernama Kibum itu enggan mengeluarkan komentarnya, ataupun meski hanya sebatas ekspresi haru? Itupun tak ada. Sang bocah hanya mengecup singkat pipi sang hyung dan lalu berlalu untuk duduk di kursi tunggu yang sempat dihuni Leeteuk. Ia biarkan Kyuhyun bermanja-manja pada hyung mereka, bahkan Leeteuk memangkunya. Memangku Kyuhyun, saudara kembarnya.

Leeteuk mengulum senyumnya. Ia merasa beruntung kedua dongsaengnya tersebut tak berubah banyak. Saudara kembar yang selalu saling menjaga, meskipun sikap Kibum terkesan dingin. Berbeda dengan sikap Kyuhyun yang begitu manja padanya, mungkin bagi Leeteuk, sama saja tingkah Donghae dengan dongsaengnya yang satu itu.

“Dengan siapa kalian kemari?”

“Taksi!” ucap Kibum. Ia terlihat irit bicara..

“Padahal hyung meminta ajhumma Kim untuk mengantar kalian tadi..”

Kyuhyun masih bermanja pada sang hyung. “Kami tak ingin merepotkannya, hyung. Ia sudah tua,” ucapnya. Bocah yang satu ini, terduduk di atas pangkuan sang hyung.

Sedang Kibum terduduk di samping Leeteuk. “Apa kami sudah boleh melihat eomma dan appa?” tanyanya pada Leeteuk. “Sejak kemarin kami tak diperbolehkan melihat mereka oleh dokter!” dengusnya.

Leeteuk lalu menarik Kibum untuk mendekat dan merangkul Kibum. “Kita belum boleh melihat mereka. Mereka masih belum siuman..” jelas Leeteuk. Sesungguhnya mereka telah mengetahui apa yang terjadi pada appa dan eomma mereka. Namun di mata Leeteuk, kedua bocah itu cukup baik dan tak merengek manja. Cukup tabah untuk tak menangis menanyakan kedua orang tua mereka yang entah dalam kondisi bagaimana.

“Lalu, kami boleh menginap disini bersamamu, hyung? Untuk menunggu mereka?” tanya Kibum.

Leeteuk menggeleng. “Nanti sore kalian pulang saja. Bukankah besok sekolah? Lagipula aku sudah berpesan pada ajhumma Kim untuk menjaga kalian selama kami disini..”

“Tapi aku ingin disini!” rutuk Kibum dalam gumaman kecil dan masih mampu di dengar Leeteuk.

“Kalian akan kedinginan disini. Kau tak ingin ‘kan asma Kyuhyun kambuh, Kibumie? Hyung harap kau ingat bahwa Kyuhyun memiliki sakit yang tetap, dan bisa datang kapan saja jika kita tak memperhatikannya dengan baik!” tuturnya sambil mengelus kepala Kibum.

“Aku baik-baik saja, hyung!” bantah Kyuhyun kemudian.

“Tidak, tidak!” bujuk Leeteuk dengan halus. “Biar nanti hyung antar kalian ke rumah terlebih dahulu, bagaimana?”

Keesokan harinya..

Heechul tengah menuntun Donghae berjalan. Keduanya berjalan beriringan dan baru saja keluar dari sebuah ruangan. Sesungguhnya mereka tengah berada di sebuah klinik, dan Donghae baru saja memeriksakan giginya setelah mendapat bujukan keras dari sang hyung.

“Sudah hyung bilang tidak akan dicabut, kan?” ucap Heechul sambil masih berjalan di lantai keramik milik klinik tersebut.

Sedang Donghae mengangguk senang. Sakit giginya telah hilang sepenuhnya meski sang dokter membicarakan mengenai giginya yang berlubang cukup parah di dalam. Mungkin sisi kekanakan Donghae memang begitu lekat. Mana ia peduli giginya berlubang atau tidak? Yang terpenting adalah sakit itu hilang.

Maka bocah kecil itu melangkah dengan riang sambil menebar senyumnya. Tak lama semenjak itu, bahkan ketika perjalanan mereka menuju mobil belum juga terselesaikan, Donghae menarik baju Heechul dan menghentikan jalan mereka. “Hyung!” panggilnya.

“Kenapa?”

Donghae menengadahkan wajahnya dan menampakkan senyum manisnya. “Apa dokter tadi temanmu?” tanyanya.

“Ya. Dia temanku sewaktu sekolah. Ada apa memangnya?”

Dengan sengaja Donghae tersenyum. “Dia dokter gigi terbaik yang pernah kutemui!” girang Donghae.

Heechul mengernyitkan keningnya. Ia heran karena Donghae begitu bersemangat membicarakan dokter gigi yang baru saja memeriksanya. Bahkan senyum Donghae terlalu aneh baginya. “Jangan macam-macam, Hae!” desis Heechul.

Donghae menggeleng. “Aku tidak macam-macam! Beritahu aku namanya, hyung..”

“Yesung! Namanya Yesung. Sebenarnya ada apa dengannya, huh?”

“Tidak!” bantah Donghae dengan lembut. “Yesungie hyung!” gumamnya pelan sambil kembali meraih jemari Heechul oleh jemarinya. Ia menarik Heechul untuk kembali berjalan bersamanya.

Sempat Heechul akan mengabaikan laku aneh Donghae jika saja bocah itu tak mengatakan bahwa, “aku tak takut lagi untuk makan coklat dan sakit gigi!” sambil terkekeh pelan. Itu toh sebabnya? Membuat satu alis Heechul berkedut bahwa ia tengah menahan geramnya. Maka segera ia pererat genggamannya pada sang dongsaeng dan memberinya delikan tajam. “Kau langgar janjimu, maka akan kutanggalkan semua gigimu, Donghae!” kesalnya.

“Aku tidak bisa memasangkan kancingnya, hyung. Bantu aku, jebal!”

Leeteuk sedang sibuk di pagi itu. Sibuk mengurus dua adiknya yang akan berangkat sekolah. Ia terlihat sedikit kesulitan, karena harus menyiapkan segalanya seorang diri. Dari memulai memasak air untuk keduanya mandi hingga memasakkan mereka masakan untuk sarapan. Sesungguhnya saat ia berada di kediaman tuannya, ia tak pernah sesibuk sekarang, karena ada orang lain yang menangani bagian-bagian tersebut. Sedang dirinya hanya menggerakkan perintahnya, terkecuali untuk segala sesuatu yang bersentuhan langsung secara fisik dengan Donghae, tuan mudanya, maka akan ia lakukan seorang diri.

“Apa biasanya eomma yang selalu menyiapkan segalanya?” tanya Leeteuk di sela kegiatannya. Ia tengah membantu Kyuhyun memakai celananya dan membenahi kancing-kancing seragam sang dongsaeng.

Sedang Kibum? Bocah itu telah dapat membenahi dirinya sendiri. Telah memakai semua perlengkapannya, termasuk kaki yang telah dalam balutan kaoskakinya, bahkan sebuah tas yang sudah ia gendong nyaman. Ia terduduk nyaman sambil menonton Leeteuk dan Kyuhyun yang sibuk. Ia nampak melipat kedua tangan di dadanya. “Tidak, hyung,” jawabnya pada Leeteuk.

Eomma menyiapkan segalanya hanya untuk Kyuhyun, karena aku sudah bisa melakukannya sendiri! Kecuali untuk sarapan, dan memasak air hangat untuk kami mandi..” tutur Kibum.

“Benarkah?” tanya Leeteuk sedikit terkejut sambil membuka lebar matanya ke arah Kyuhyun. Ia mencuri cubitan kecil di hidung Kyuhyun. “Seharusnya kau dapat mencontoh hyungmu..”

“Dia bukan hyungku!” bantah Kyuhyun, sedikit marah. “Kami kembar hyung!”

Leeteuk terkekeh pelan mendengar rutukan Kyuhyun. “Tapi Kibum lahir lebih awal beberapa menit sebelum kau!” cetusnya. “Lagipula, tak ada salahnya untuk meniru perbuatan baik dari seseorang meskipun dia lebih muda, ataupun lebih tua darimu,” jelasnya sambil mengacak rambut Kyuhyun.

Hyung yakin eomma dan appa selalu mengajarkan yang terbaik untuk kalian..”

Sejenak semua menjadi diam. Bahasan mengenai orang tua mereka seketika membuat mereka murung dengan sendirinya. Siapa yang akan tenang jika orang tua kita tengah berada dalam ketidaksadarannya, dan entah terbangun lagi atau tidak. Tentu mereka cemas, terlebih Leeteuk. Namun beruntung dia bisa mengatasi cemasnya dan bisa menyembunyikan cemasnya di hadapan Kyuhyun dan Kibum.

Menit berikutnya, saat Leeteuk akan menuntun Kyuhyun menuju sarapan mereka, ia merasakan satu tarikan di bajunya. Dan Leeteuk menoleh, mendapati Kibum yang mendongak ke arahnya. “Ada apa, Kibumie?”

Sempat Kibum menghela kecil nafasnya. “Kapan eomma dan appa sembuh dan pulang, hyung?”

Leeteuk sadar saat itu. Seberapapun Kibum bersikap dewasa, namun semua masih berada dalam keterbatasan umurnya. Ia masih anak-anak dan berhak merengek untuk menanyakan keberadaan orang tuanya.

Belum sempat Leeteuk menenangkan Kibum yang sedang larut dalam sedihnya, ia terpaku saat melihat Kyuhyun memeluk Kibum tiba-tiba. Anak itu lalu menepuk-nepuk punggung Kibum. “kau tidak boleh menangis,” bujuknya.

“Aku tidak menangis!” bantah Kibum. Ia nampak kesal, meski tak terlihat sedikitpun menolak pelukan Kyuhyun padanya.

“Masih ada hyung. Juga ada aku, Kibumie..”

Leeteuk mengernyit menahan haru di wajahnya. Ia yakin dan percaya, bahwa darah sama yang mengalir di tubuh mereka, begitu kuat dan akurat untuk menyatukan tali persaudaraan tersebut. Dengan setitik air mata yang sempat tergenang, dan mungkin tak sempat menetes karena Leeteuk segera mengusapnya, Leeteuk berjongkok untuk meraih kedua dongsaengnya yang masih saling memeluk.

“Sebenarnya apa yang kalian cemaskan, hm? Ada hyung disini!”

Leeteuk memeluk erat kedua adiknya. Mendekap mereka hangat, hingga untuk selanjutnya ia tarik dirinya dari dekapan itu. “Sudah siang. Waktunya sekolah, segera sarapan dan pergi ke sekolah. Perlu hyung antar?”

Kibum menggeleng. “Tidak usah. Sekolah kami dekat,” jelasnya.

“Dengan sepedah?” tanya Leeteuk kemudian, dan Kibum mengangguk. “Tapi hyung lihat hanya ada satu sepedah,” ucapnya.

“Kyuhyun selalu menumpang padaku!” cibir Kibum.

“Tidak, tidak! Bukan begitu!” rutuk Kyuhyun. Ia menatap sebal ke arah Kibum. “Kau terlalu enggan berkata bahwa kau mencemaskanku dan tak pernah membiarkanku untuk mengendarai sepedahnya! Kau curang! Kau bahkan melarang eomma dan appa membelikan sepedah yang baru!”

Sedang Kibum hanya mengangkat bahunya. “Aku tidak ingin kau sesak nafas saat tiba di sekolah!” ketusnya beralasan.

Leeteuk tersenyum. Sesungguhnya ia tahu, bahwa Kibum selalu melindungi dan mencemaskan saudaranya, meski Leeteuk merasa aneh. Mengapa bocah itu bisa bertingkah layaknya orang dewasa?!

“Hati-hati..”

Leeteuk masih merenung mengingat ungkapan pesan yang ia lontarkan pada dua dongsaengnya saat mereka akan pergi sekolah. Satu bukti bahwa Leeteuk benar-benar menyayangi dua manusia itu. Satu bukti bahwa Leeteuk tak ingin mereka terluka sedikitpun, karena apapun itu. Namun sekarang?

“Maaf. Kedua orang tua anda.. ah, sebaiknya anda segera datang ke rumah sakit..”

Setelah mendapati kabar dari pihak rumah sakit, Leeteuk menangis keras. Sedikit banyak ia mengetahui apa yang terjadi pada kedua orang tuanya. Terasa pahit ia telan setiap cairan dalam mulutnya. Perih serasa melukai ruang di dalam tenggorokannya.

“Leeteuk-ah..”

Leeteuk menoleh, pada seorang wanita paruh baya yang baru saja menyapanya sambil menepuk pundaknya pelan. Wajah yang tak asing bagi Leeteuk, hingga mampu membuatnya tersenyum tipis. Ia tak tahu harus mengatakan apa, terlebih ketika kata-kata duka ia terima, untuk kematian orang tuanya.

Leeteuk menangis. Ia hanya mampu menangis, hingga sosok wanita itu memeluknya. “Ajhumma,” isaknya. “Apa yang harus kukatakan pada mereka?!” lirihnya. Leeteuk seolah terlalu buruk untuk mengatakan hal buruk tersebut pada sepasang saudara kembarnya. Ia nampak sangat bingung dan terlalu takut melihat kedua dongsaeng kecilnya menangis.

Prang!

Donghae berbalik seketika. Ia menyaksikan kaca kelasnya pecah terkena bola yang ditendang entah oleh siapa dari arah lapangan di sisi kelasnya tersebut. Meski sempat terkejut, ia kembali berkutat dengan lamunannya. Ia tak peduli, padahal siswa lain tengah ramai untuk melihat kaca jendela yang telah berlubang itu.

Donghae tak peduli, padahal kaca jendela itu berada tak jauh darinya. Tak ia sadari ada satu serpihan kaca kecil yang lalu bergesekan dengan kulit sikunya.

“Aw!” ringis Donghae saat merasakan benda tajam itu menggores bagian tubuhnya. Ia segera mengernyit sakit saat setitik darah mulai keluar dari lukanya tersebut.

Jika harus jujur, maka Donghae ingin menangis dan merutuk sakit, serta mengutarakan ketakutan pada darahnya sendiri. Bahkan setitik air telah memenuhi sudut matanya. Namun..

“Jangan cengeng dan nakal, Hae. Hyung ada rapat penting hingga jam sebelas siang nanti. Sedang kau tahu sendiri Leeteuk hyung sekarang sedang tak ada dan tak bisa kau panggil semaumu.”

Pesan dari Heechul memaksanya untuk lebih kuat, dan beralih dari sifat manjanya. Namun mana bisa ia berubah secepat itu? Karena hati kecilnya tetap menolak dan saat ini sedang menangis keras. Memang, disaat beginilah tiba-tiba ia merindukan Leeteuk.

Donghae bahkan menuliskan nama Leeteuk di dalam secarik kertas dan lalu melipat kertas tersebut menjadi sebuah perahu yang lalu ia simpan di dalam tasnya. “Sebenarnya kapan kau pulang!” gumamnya, mengutarakan rindunya terhadap Leeteuk dengan nada lesu.

Ia yang lalu mengusap setitik darah di sikunya dan lalu mengabaikannya begitu saja. Ia begitu tidak bersemangat meski sekedar bermanja-manja. Padahal biasanya ia akan merengek manja pada Leeteuk dan meminta sang hyung menjemputnya jika terjadi sesuatu seperti saat tersebut. Tapi sekarang ia tak bisa.

Beberapa ajakan temannyapun ia abaikan. Ia tak seceria biasanya. Entah mengapa tiba-tiba ia begitu merindukan Leeteuk. “Donghae-ya mari bermain bola?!”

Donghae menggeleng lesu.

“Kau mau pergi bersamaku membeli minum?”

Lagi. Donghae mengabaikan teman-temannya dan membiarkan dirinya sendirian di dalam kelas. Sunyi melekat padanya kala itu pula, padahal semua anak tengah bermain riang di luar sana. Ia terus saja termenung hingga kaki mungilnya menapaki lantai yang dingin, membawa tubuhnya turun dari kursi yang didudukinya semula.

Ia terus berjalan melewati setiap keramaian, dan lalu kembali membuat dirinya terbelenggu akan sunyi yang nampak pada ruang penuh buku. Ruangan yang cukup jauh dari gedung tempat kelas-kelasnya berada. Donghae kembali menyendiri, tenggelam akan keberadaan buku-buku cerita bergambar disana. Ada begitu banyak buku menarik, sayang sekali tak ada yang menyentuh mereka.

Donghae meraih satu buku bergambar domba berbulu putih nan lebat, terkesan lucu di sampul depannya.  Ada banyak domba berurutan dan terbagi dalam beberapa kotak. Donghae tersenyum. Dalam benaknya tertuang kembali perkataan Leeteuk..

“Jika kau tak bisa tidur, maka ingatlah banyak domba di kepalamu.”

“Lalu kuapakan domba itu nantinya, hyung?”

“Hitung!”

Ternyata gambar yang diraihnya adalah buku berhitung bertemakan binatang. Donghae tersenyum dan larut dalam gambar-gambar yang dilihatnya. Ia membaca bukunya di antara rak-rak buku cukup tinggi dan menenggelamkan keberadaannya. Tak ia sadari langit disana semakin terlihat gelap, bersama sang awan hitam yang menutupi birunya langit. Donghae masih membuka bukunya hingga halaman terakhir. Dan..

Seketika Donghae mendongak saat mendengar suara hujan di luar sana. Ia terkesiap mendengar deras hujan yang begitu deras. Terlebih, sejak kapan hujan itu datang? Begitu dingin dan gelap, Donghae baru saja menyadarinya.

Donghae bangkit, dan alangkah terkejutnya ia, saat menyadari dirinya seorang diri dalam ruang tersebut. Maka segera ia beranjak menuju pintu keluar. Namun, “eh?” naas! Ia begitu terkejut saat mendapati pintu tersebut terkunci.

Donghae panik. Berulang kali ia menarik kasar daun pintu tersebut, namun semua sia-sia. Menangislah ia pada akhirnya, setelah sempat ia menarik salah satu kursi di perpustakaan itu untuk menggapai jendela. Ia berusaha memanggil siapapun namun mereka terlalu jauh.

“Hiks.”

Ia semakin terisak saat melihat di luar sana teman-temannya telah pulang menuju gerbang bersama jemputan mereka, bertemankan jas-jas hujan beserta payung-payungnya. Tangis Donghae teredam, namun gurat pedih semakin terlukis di wajahnya. Biasanya Leeteuk yang akan rela berhujan-hujan hanya untuk menjemputnya. Membawakan dirinya jaket beserta payung. Menjemputnya pulang, kapanpun ia panggil.

Donghae rapatkan mulutnya dan berulang kali menahan nafasnya. Ia usap kasar wajahnya dengan kulit tangannya. Ia terjebak di dalam ruang perpustakaan seorang diri. Maka dengan lemas Donghae turun dari kursi yang baru saja diinjaknya. Ia rapatkan punggungnya pada dinding sehingga dingin itu terserap tubuhnya. Ia mulai bergerak takut menatap ruangan yang cukup gelap.

“Hyung..”

Donghae berucap takut. Ia mulai berjongkok dan menelungkup wajahnya di antara lutut yang ia tekuk. Buku bergambar domba itu masih berada di sampingnya meski telah tergeletak di sampingnya. Suara isakan pelan-pelan memenuhi ruangan tersebut. Dengan segenap kekuatannya, Donghae memejamkan erat kedua matanya, dan memaksakan dirinya untuk tertidur saja meski takut itu tak bisa membuatnya tertidur lebih cepat.

“Hyungie!!”

“Hyung?”

Leeteuk menoleh. Dilihatnya kedua dongsaeng kecilnya di ambang pintu. Namun bukan senyuman yang mereka tebar dalam pertemuan kali ini, melainkan sebuah tangis kesedihan. Terutama si bungsu Kyuhyun, yang menangis cukup keras disana, menorehkan satu luka yang terasa begitu perih di hatinya. Ia segera hampiri kedua mahluk kecil tersebut. Ia rengkuh dan peluk sambil menenangkan keduanya.

Sungguh berita buruk di waktu kepulangan mereka, sesaat berita kematian kedua orang tua mereka, mereka dapati dalam siang yang begitu mendung.

“Kalian semua bohong, kan?” lirih Kibum, seolah menentang kabar yang ada.

Leeteuk segera merekatkan pelukannya. Ia usap rambut Kibum, dan lalu ia cium kening Kibum dengan penuh kasih. “Kita akan baik-baik saja, Kibumie.. Kyuhyunie. Tak usah cemas, ada hyung disini..”

Sesaat setelah kalimat itu meluncur dari mulut Leeteuk, Kyuhyun menangis keras di bahu sang hyung, sedang Kibum mencoba untuk lebih menekan tangisnya. Mereka kini telah mengetahui apa yang terjadi dalam kehidupan mereka..

CTAR..

Heechul sedikit terperanjat, karena suara petir menyambar saat ia akan membuka pintu mobilnya. Kala itu malam begitu gelap tanpa bintang dan sinar rembulan karena hujan deras yang melanda kota Seoul. Segera Heechul merapatkan jaketnya dan meraih sebuah payung. Ia turun untuk menerobos hujan dan menuju gedung sekolah Donghae.

“Maaf, kami tidak tahu jika Donghae terjebak di dalam ruang perpustakaan..”

Heechul hampir saja lupa dan tadi sempat merutuki dirinya. Ia lupa bahwa Leeteuk sedang tak ada, dan ia lupa bahwa dirinya yang harus menjemput Donghae. Untung saja pihak sekolah memberitahukan padanya mengenai keberadaan Donghae, meski itu nampak terlambat, saat mereka mengatakan bahwa Donghae terjebak di dalam ruang perpustakaan di sekolahnya, membuat Heechul semakin merasa bersalah.

“Oh!”

Heechul sedikit terkejut dan lalu membungkukkan tubuhnya. Setibanya ia di ruang guru, ia disambut oleh keberadaan beberapa guru Donghae dan juga Donghae yang terduduk sambil menundukkan wajahnya. Heechul tercekat. Donghae begitu kusut terlihat.

“Maaf. Ia bahkan tak ingin kami sentuh. Tak biasanya Donghae begini..” ujar salah seorang wali Donghae.

Heechul mencoba mengerti dan berusaha tersenyum. Ia menghampiri Donghae, dan lalu berjongkok untuk menatap wajah dongsaengnya itu. “Hey!” bisiknya untuk memanggil Donghae. “Hae?” sapa Heechul sambil mulai memberikan kontak fisik dengan saudara terkasihnya tersebut.

Hyung disini. Angkat wajahmu, Hae. Lihat hyung..”

Tidak! Donghae tak ingin mengangkat wajahnya. Ia hanya ingin bersandar pada bahu sang hyung. Ia dekap erat sang hyung dan menenggelamkan wajahnya di bahu Heechul. Ia menangis keras meski tangis itu teredam bahu Heechul. Tubuhnya begitu dingin dan bergetar takut.

Heechul dapat merasakan semuanya. Ia mencoba mengais Donghae seketika. Ia tersenyum ke arah beberapa guru disana sambil mengucapkan terima kasih. Diraihnya tas Donghae dan lalu ia berpamitan pada mereka yang telah rela menjaga Donghaenya sebelum ia tiba. Ia segera bawa Donghae dengan cepat semenjak Donghae merengek takut dan memaksa untuk pulang lebih cepat.

Diam adalah kata yang tepat. Bagi Heechul, setiap pertanyaan yang ia lontarkan, malah akan membuat Donghae menangis kembali. Keduanya kini telah menghuni kendaraan meereka. Heechul sudah terduduk di kursi kemudi meski mesin mobil masih belum hidup. Bagaimana bisa ia mengemudi jika Donghae masih berada dalam lahunannya? Anak itu akan merengek jika Heechul berusaha menjauhkan tubuh mereka. Bahkan Donghae melingkarkan erat kedua tangannya di leher sang hyung.

Heechul bisa apa? Selain ia benar-benar tak bisa marah kali ini karena..

“Sebenarnya apa yang terjadi, huh?” ungkap Heechul, bertanya perlahan. Ia berbisik di telinga Donghae, sementara satu tangannya ia gunakan untuk mengusap helaian rambut Donghae yang basah. Sangat basah membuat Heechul terperanjat tiba-tiba. “Ya Tuhan! Kau setakut ini, Hae?” paniknya.

Dengan sengaja Heechul menarik dirinya dari dekapan Donghae dengan sedikit paksaan. Dilihatnya wajah Donghae yang begitu ketakutan. Kedua matanya tertutup rapat, dan bibirnya yang bergetar itu mengatup rapat.

“Donghae! Buka matamu, Hae. Sudah tidak apa-apa sekarang. Kau tidak perlu takut,” cerocos Heechul sedikit resah sambil menepuk-nepuk pelan pipi Donghae. Ia semakin tak sabar saat merasakan Donghae menggeleng keras dan kedua tangan dongsaengnya itu mencengkram sisi kausnya. “Apa yang kau lihat tadi, hm? Katakan pada hyung!” desak Heechul.

Donghae kembali menebar tangisnya. Ia terisak dan isakan itu semakin menjadi jika saja Heechul tak lagi mendekapnya. “Baiklah,” bujuk Heechul. “Jangan katakan apapun. Jangan ingat apapun yang menakutimu. Tidak ada apa-apa. Hanya kita berdua disini..”

Isakan Donghae membuat wajah Heechul begitu resah terlihat. Heechul mendekap Donghae semakin erat dan mengusap punggung Donghae untuk menenangkannya. Ia tak peduli meski Donghae akan kepanasan akan dekapan eratnya. Heechul tak peduli akan keringat yang membasahi tubuh mereka. Heechul juga tak peduli pada hujan di luar sana yang semakin deras.

Dengan susah payah Heechul meraih ponselnya. Ia lihat layar ponselnya yang mati, menandakan tak ada pesan ataupun panggilan disana. Ia menggigit bibirnya sendiri menahan asanya. Perlahan ia hidupkan ponselnya. Ia ketikan beberapa kata yang kemudian ia kirimkan ke sebuah nomor bernamakan ‘Jungsoo hyung’..

“Hyung, kapan kau kembali? Ternyata aku tak mampu menjaga Donghae sendirian. Ia terlalu membutuhkanmu..”

“Ssstt..”

Leeteuk mengacungkan satu jemari tepat di depan mulutnya. Satu tangannya belum berhenti menepuk pelan permukaan selimut yang kini dihuni insan kecil yang disayanginya. Sedang peringatan ‘diam’nya Leeteuk layangkan untuk mahluk mungilnya yang lain. “Terima kasih, Kyuhyunie. Tapi, hyung rasa lebih baik dia tidur saja..”

Kyuhyun yang belum tidur kala itu hanya mengangguk saja. Sesungguhnya ada susu coklat di tangannya. Maka semenjak sang hyung memberi perintah lain, ia letakan gelas bening berisikan cairan coklat itu di sebuah meja yang terletak di antara dua ranjang kecil.

Leeteuk tersenyum kala melihat Kyuhyun, dongsaengnya itu patuh padanya. Setelah Kyuhyun meletakan gelas berisikan susu itu, ia lalu memilih untuk terduduk di ranjang sebelah, yang adalah ranjang miliknya sendiri. Lampu duduk yang terletak satu meja dengan susu coklat itu menyala sejak tadi, dan kini menyinari sebagian wajah Kyuhyun yang termenung.

“Kau baik-baik saja?” tanya Leeteuk tiba-tiba dalam bisikan. “Kau marah karena hyung tak mengijinkanmu membangunkan Kibum untuk meminum susunya sebelum tidur?”

Kyuhyun arahkan kedua matanya pada Leeteuk. Mata itu begitu polos dan tak ada sedikitpun tanda marah disana. “Kibumie pasti kedinginan setelah berada di kamar mandi seharian!” ungkapnya. “Ia butuh susu coklatnya, ia pasti kelaparan..” tutur Kyuhyun.

Leeteuk menghela nafasnya. Kibum berada di kamar mandi berjam-jam, itu benar! Bahkan jauh di luar dugaan Leeteuk. Setelah mendengar berita duka mengenai kedua orang tua mereka, bukan Kyuhyun yang benar-benar terpukul, tapi Kibum! Padahal Leeteuk sudah memperkirakan sakit tetap Kyuhyun yang akan tiba-tiba datang. Namun kali ini ia terlihat baik-baik saja, bahkan lebih tegar dari dirinya dan juga Kibum.

“Lagipula bodoh sekali sih dia!” cetus Kyuhyun, terdengar menggerutu dengan kedua pipinya yang membulat. “Mengapa dia mandi selama itu!” rutuknya.

Leeteuk menjadi terkekeh pelan. Rupanya Kyuhyun belum memahami benar apa yang sebenarnya tadi dilakukan saudaranya itu di dalam kamar mandi. Hanya menangis dan mengurung dirinya sendiri, hingga Leeteuk harus mendobrak pintu.

“Kau peduli padanya, Kyu? Kau menyayanginya?” tanya Leeteuk dengan senyum lembut. Ia angkat satu tangannya untuk mengajak Kyuhyun mendekat padanya. “Kemari..” ajaknya.

Lagi-lagi Kyuhyun menurut. Bocah itu mendekat pada Leeteuk dan terduduk di sisi ranjang dengan sedikit sisa tempat baginya. “Ini sempit hyung!” dengus Kyuhyun.

“Tidak, ini cukup!” sanggah Leeteuk. Ia memberikan sedikit tempatnya bagi Kyuhyun. Merapatkan tubuhnya pada Kibum dan Kyuhyun. Berada di antara dua dongsaengnya seperti saat tersebut sungguh membuat hatinya nyaman dan hangat. Leeteuk lalu menarik selimut untuk menutupi tubuh ketiganya.

“Tidurlah, Kyu. Hyung janji akan menjaga kalian..” ucap Leeteuk setelah mengusap helaian rambut Kyuhyun. Ia lalu kecup kedua kening adiknya dan turut memejamkan matanya.

Tiba di pagi yang masih menyisakan sisa-sisa hujan semalam. Heechul tergugah dari tidurnya setelah mendapati bunyi ponselnya. Ia terbangun dan sedikit terlambat menyentuh ponselnya karena sedikit terkejut akan keberadaan Donghae di sampingnya. Rupa-rupanya ia lupa bahwa semalam Donghae benar-benar tak ingin lepas darinya.

“Ouch!”

Heechul meringis sambil mengusap kasar kedua mata miliknya oleh punggung tangannya. Baju atasnya telah tanggal dan hanya menyisakan kaus dalamnya saja. Penampilannya sungguh tidaklah rapih. Namun siapa peduli? Juga tak ada yang salah, mengingat mereka tak sempat berganti pakaian saat akan tertidur, bahkan Donghae masih mengenakan seragamnya.

Heechul nampak malas untuk bangun, sementara ponselnya terus saja berbunyi. Dengan satu laku malas terakhir, Heechul nampak meregangkan otot-ototnya yang terasa pegal, dan lalu meraih ponsel yang terus saja memanggilnya itu. Matanya  melebar kala melihat nama ‘Jungsoo hyung’ di layar ponselnya. Maka dengan semangat ia membuka percakapan jarak jauh tersebut.

“Hallo.. Hyung, kau kemana saja?! Mengapa tak mengangkat telponku, tak juga membalas pesanku, huh?” cerocos Heechul dengan kesal tanpa ragu sedikitpun. Heechul bangkit dengan omelannya. Ia turun dari ranjangnya karena tak ingin mengejutkan Donghae dengan omelan panjang dari bibirnya yang akan terlontar.

“Mianhae, Heechul-ah! Kurasa juga aku harus mengabarimu sesuatu. Ini tidaklah baik..”

Heechul masih belum mengetahui apapun yang terjadi. Ia masih bersikap tenang. Berjalan ke arah jendela dan lalu membuka tirainya. Pagi itu tak seperti biasanya. Langit masih menampakkan mendungnya dengan beberapa titik air yang jatuh dari dedaunan dan ranting pohon di luar sana. Tak ada sinar yang terik. Juga tak ada burung berkicau..

“Apa hyung? Apa yang belum kuketahui, katakan!”

Berakhir dengan dia yang memposisikan dirinya di depan jendelanya sambil berkacak pinggang. Menyuguhkan pemandangan pagi yang basah di matanya, sementara telinganya bersiap mendengar apapun penjelasan dari Leeteuk jauh di ujung sana.

“Orang tuaku meninggal, Heechul-ah..”

Heechul tertegun kemudian. Apa yang di dengarnya benar-benar berita buruk. Lalu? “Bagaimana mungkin kau tak memberitahuku, hyung! Aku bisa pergi kesana!” geram Heechul.

“Tidak apa-apa. Aku baik-baik saja. Hanya..”

Menunggu. Heechul menunggu apa maksud dari perkataan Leeteuk. Seharusnya tak ada hal lain setelah kabar buruk tersebut bukan? Cukup kabar itu, tak harus ada cerita lain. Heechul tak akan mengerti jika saja tak ada penjelasan Leeteuk.

“Mianhae, Heechul-ah. Mungkin aku tak akan kembali, karena aku tak mungkin meninggalkan kedua saudaraku disini..”

Heechul tertegun. Ia mengingat tangisan Donghae sambil memanggil nama Leeteuk tadi malam. Namun, bagaimana ia harus bersikap? Ia tak mungkin egois. Mengutamakan Donghae, dongsaengnya sendiri sedang Leeteukpun memiliki saudara yang berharga sama seperti dirinya disana.

“Oh, hyung. Kuharap kau baca pesanku semalam,” gumam Heechul pelan. Ia sudah tak sanggup berkata lagi, mengenai Donghae yang begitu membutuhkan keberadaan Leeteuk di sampingnya.

“Tapi kau saudaranya, Heechul-ah. Kau tentu bisa lebih menjaganya meski hanya sendiri. Belajarlah..”

Heechul mendesah kecewa. Ia tak lagi mampu untuk menjawab apapun. Bibirnya tak lagi berkata, dan hanya terdiam meski percakapan itu belum tertutup. Namun tiba-tiba saja Heechul ingin memastikan. “Apa keputusanmu sudah bulat, hyung? Kau benar-benar tak akan kembali? Kurasa aku bisa mengerti. Tapi jika kau ingin, kau bisa kembali kapanpun..”

Awalnya, Heechul telah merelakan. Dalam keadaan sempit tersebut, ia telah mencoba untuk memikirkan hal lain untuk Donghae. Hal yang lebih baik tanpa harus membebani pihak manapun. Namun, belum sempat sambungan itu terputus, Heechul terkejut mendapati Donghae telah bangun dan terduduk di atas ranjang. Wajahnya begitu mendung dengan mata menuntut ke arah Heechul, untuk meminta penjelasan..

“Hae..”

“Siapa yang tidak akan kembali?”

TBC

.

Ini dari saya untuk kalian. :’)) adakah yang masih menunggu fict ini? HaaHaaHaa. Maaf jika agak telat updatenya. Juga, saya akan membiasakan diri untuk membalas komenan disini. Jadi? Kalo mau baca balasan komen saya langsung liat aja di komen kemarin ya. HaaHaa.. Sekian dulu untuk brothershipnya yauuu~ ^^

94 respons untuk ‘-NOTHING BETTER [2]-

    hyunsup said:
    Agustus 11, 2015 pukul 7:46 am

    whooaaa.. keren keren..
    kasian kihyun.. masih kecil tp udh ditinggal ‘pergi’ ortunya..
    dongek bakal ngambek ke heechul kah?
    atau nnti keluarga leeteuk bakal tinggal sama heechul dan dongek?
    aih penasarannn
    hwaitinggg thor

Tinggalkan komentar